Welcome to OASIS blog, thank you for joining.

Tuesday, October 28, 2008

NURANIKU MENOLAK PORNOGRAFI BAGAIMANA DENGAN ANDA


Banyak kalangan yang menuduh sekaligus mencibir bahwa bangsa ini tidak perlu aturan untuk pornografi, tapi aneh semua sepakat jika pornografi harus dihentikan, aneh ya...? gitu-lah Indonesia. Mereka menganggap beberapa hal itu boleh-boleh saja jika itu masuk ranah pribadi.
Semua orang juga tahu jika melakukan "pornografi" entah itu telanjang atau adegan lainnya jika sendiri di kamar tidak ada yang melarang, tapi jika di depan orang lain yang itu bukan suami/istri anda menstinya jika waras nuraninya pasti akan menolak. Jika mau jangan-jangan kena gangguan jiwa yang namanya exhibisionisme.
Jika kita cermati RUU Pornografi ini, meski tidak maksimal menumpas pornografi, namun sudah sangat akomodatif. Saya rasa pihak yang mendukung sudah sangat mengalah untuk meluaskan makna porno untuk beberapa pengecualian, apa itu belum cukup...?
Nurani manusia pasti menolak pornografi, parameter makna porno jadi kabur jika manusia itu menggunakan kepentingannya sendiri-sendiri. Tidak dapat dipungkiri bisnis pornografi sangat menggiurkan (meski itu uangnnya jelas haram) para pelaku bisnis, penkoordinir, pembantu-pembantunya, bahkan penikmat pornografi akan menggunakan berbagai macam dalih untuk memaknaai pornografi. Padahal sekali lagi nurani manusia itu menolak.
Gini aja kali mungkin ini ekstrim pertanyaannya, namun menurutku bisa mengukur kepekaan nurani anda : J
IKA ANDA MEMILIKI ANAK/SAUDARA/ISTRI/SUAMI/KELUARGA YANG MEMINTA IZIN KEPADA ANDA UNTUK BERTELANJANG/MENJADI "AKTIVIS PORNO" DENGAN MENGATAKAN "Kan ini urusan pribadi saya, apalagi TIDAK ADA UNDANG-UNDANGNYA (sebab digagalkan oleh anda) karena saya senang melakukannya, iklash KOK TUBUH SAYA DILIHAT ORANG SEPERTI ARTIS-ARTIS BARAT YANG SUKSES JUGA KARENA MEREKA RELA "MENJUAL" HARGA DIRINYA! apa jawaban anda? Mungkin saat ini anda belum mendengarnya, tapi jika pengaruh pornografi semakin marak, dengan hiasan indah argumentasi otak anda tidak menutup kemungkianan akan muncul dari dalam keluarga anda sendiri. naudhubillahi min dzalik
Ini ada tulisan bagus dari Sirikit Syah tentang arogansi pemaknaan, munkin dapat menggugah anda.

[ Jawa Pos, Jum’at, 24 Oktober 2008 ]
Kekeliruan Memahami RUU Pornografi
Oleh Sirikit Syah

Publik kembali dihadapkan pada perdebatan sengit tentang perlu tidaknya negara memiliki UU Pornografi. Selain sengit, perdebatan yang mengulang peristiwa 2006 ini juga kurang seimbang.

Tanpa dilakukan penelitian khusus pun, konsumen media menangkap dominasi suara anti-RUU Pornografi di media massa, cetak maupun siaran (berita maupun talk show). Di mana suara mereka yang pro-RUU? Apakah memang tak ada yang pro; atau ada tapi kurang pandai mengekspresikan pendapat; atau media dengan sengaja tidak memberi mereka kesempatan?

Argumen yang diajukan penentang RUU itu-itu saja, dan kebanyakan tidak valid lagi dengan perubahan draf RUU 2008 dibanding draf 2006. Garis besar perubahan ini adalah a) berkurangnya pasal yang mengatur hingga separonya, terutama pasal yang mengatur pornoaksi, b) ditampungnya masukan dari pihak anti-RUU pada 2006, terutama perihal perlindungan pada masyarakat dan kesenian tradisional dan penghargaan terhadap multikulturalisme.

Prasangka para penentang terhadap “kepentingan politik” atau “kepentingan agama tertentu”, seperti disiratkan dalam tulisan Agus Sudibyo (JP, 21 Oktober), tidak mendasar. Bila tuduhannya “kepentingan politik”, fenomena penolakan RUU ini justru tidak populer bagi para oportunis di lingkungan legislatif. Bila ingin populer dan sukses secara politis, menentang RUU lebih menguntungkan.

Semua elemen masyarakat yang memiliki amplifier dan loud speaker (LSM dan media), pasti mengelu-elukannya. Sedangkan tuduhan “kepentingan agama”, di mana Islam menjadi sasaran bulan-bulanan, tidak mendasar karena mayoritas diam umat Islam tidak peduli.

Bila dicermati, demo dukungan terhadap RUU Pornografi sering hanya merupakan reaksi penyeimbang atas demo yang jauh lebih gencar dari kalangan anti-RUU.

Berbicara masalah substansi, kedua belah pihak sebetulnya bisa berangkat dari common ground, dasar yang sama, yaitu keduanya antipornografi. Setelah dasar ini disadari bersama, kedua belah pihak dapat mengurai dan membahas hal-hal yang dipandang berbeda, dengan tujuan mencapai kesepakatan.

Para perancang di DPR sudah melakukan bagian pekerjaannya, yaitu mengurangi pasal-pasal yang dianggap merisaukan. Sudahkah pihak penentang melakukan bagian pekerjaannya, misalnya mempertimbangkan masukan pihak pendukung RUU?

Tanpa selangkah surut seperti itu, penentang akan terus menentang secara membabi buta. Alasan-alasan mereka semakin terasa mengada-ada, bahkan kabur. Sebab, sebagian besar sudah dituruti para legislator dalam re-draf RUU versi 2008.

Ketakutan akan ancaman pada multikulturalisme dan integrasi bangsa sudah dipatahkan dengan terlindunginya masyarakat tradisional & ekspresi kesenian (pasal 14 yang mengecualikan mereka dari aturan umumnya). Dengan pasal ini, orang Papua berkoteka atau para penari berpakaian agak terbuka, tidak menjadi objek RUU. Para turis bertelanjang dada di Pantai Kuta Bali tentu bukan objek RUU. Jadi, industri pariwisata Bali tak perlu terlalu paranoia.

Perempuan Bali sendiri tak akan pamer payudara di hadapan publik, bukan? Kecemasan para sineas juga tak perlu karena bukankah selama ini mereka juga harus lolos gunting LSF?

Alasan lain ialah sudah adanya UU lain yang mengatur pornografi. Para penentang itu tidak cukup jujur untuk mengemukakan bahwa UU lain itu tidak menyebutkan kata “pornografi”, melainkan ”kesusilaan” (decency). UU Pers No 40/1999 pasal 5 ayat 1 menyebutkan penghormatan pada norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat. Pasal 282 KUHP mengatakan ”barang siapa melakukan pelanggaran kesusilaan”, dan UU Penyiaran No 32/2002 pasal 35 ayat 5.b menyebutkan pelarangan isi siaran yang menonjolkan -antara lain- unsur kecabulan.

Catatan sejarah menunjukkan beberapa kasus dugaan pornografi gagal dihukum karena saksi ahli di pengadilan berhasil meyakinkan hakim bahwa melanggar susila, sekalipun terbukti, tidak berarti pornografi.

Kemenangan majalah Playboy dari gugatan masyarakat di awal 2007 adalah salah satu buktinya. Pasal-pasal yang dulu diremehkan sebagai ”pasal karet” dan ditolak digunakan untuk menjerat ”kebebasan berekspresi dan kebebasan media”; kini menjadi pahlawan, bahkan modal perjuangan bagi para penentang RUU Pornografi.

Para penentang menginginkan kemenangan mutlak tanpa kompromi. Pasal-pasal lama adalah ”karet” dan pasal baru (RUU Pornografi) adalah ”memberangus”. Tujuan mereka adalah: pornografi tak perlu diatur negara. Padahal, negara sedang mempertaruhkan masa depan generasi muda: internet diserbu ratusan ribu situs porno (di Indonesia saja); siaran MTV dengan klip video yang penuh pelanggaran susila, yang di negeri asalnya disalurkan di TV Cable (berlangganan), gampang diakses di TV Indonesia; tabloid porno terus beredar meski kerap digerebek.

Para penentang juga berprasangka bahwa aparat akan mudah terangsang dan menggunakan itu sebagai alasan memberangus mereka yang sebetulnya tidak bermaksud ”merangsang”. Keberatan mereka akan frasa ”menimbulkan rangsangan seksual” adalah naif, karena hampir semua kamus bahasa Inggris mendefinisikan pornographydengan keterangan mengandung unsur sexual arousal. Bahwa aparat ”mudah terangsang” atau para penentang yang ‘’sulit terangsang” adalah persoalan pribadi yang tidak valid dibawa-bawa dalam diskusi aturan publik.

Prasangka buruk kepada komunitas seperti FPI (Front Pembela Islam) dan sejenisnya adalah kekhawatiran berlebihan, seperti pre-emptive action. Dicurigai sebelum terjadi. Seandainya memang terjadi FPI melakukan tindakan ngawur atas nama UU Pornografi, aparat dan publik dapat mengujinya secara terbuka: apakah sasaran FPI melanggar UU Pornografi atau FPI yang melakukan tindakan kriminal.

Kita adalah masyarakat demokratis yang hidup di negara hukum. Kita tahu mana yang benar dan mana yang melanggar. Tak sepatutnya para penentang mengatasnamakan kita -rakyat- untuk mencegah terbitnya UU Pornografi.


Sirikit Syah , analis media, mengajar di Stikosa-AWS dan FIB-Unair

gimana.....? masih menolak

2 comments:

  1. Tulisan ini saya temukan disalah satu websites, mungkin menarik untuk dicermati,
    terimakasih

    Dalam situs Jurnal Perempuan (9 Maret 2006) diberitakan bahwa Yayasan Jurnal Perempuan telah menyerahkan aspirasi 907 perempuan yang menolak RUU APP kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta. Saya rasa daftar para penolak itu perlu dibuat lebih panjang lagi dengan memasukkan nama wanita dan juga pria dari pelbagai profesi dan kalangan. Tidak hanya semata-mata diperpanjang deret namanya, tetapi juga diolah, dikemas, dan dipasarkan secara sosial.

    Politisasi harus dilawan dengan politisasi pula. Bila wakil kelompok wanita yang mereka undang untuk mem-voting pengajuan RUU APP diperoleh dari sampling yang jelas-jelas direkayasa agar arah suara bisa dimanipulasi, kita juga harus bergerak untuk menunjukkan bahwa the silent majority, baik wanita maupun pria, banyak sekali yang anti terhadap RUU APP. Kenapa kita tidak membuat representasi tandingan? Kenapa kita tidak membuat survai dengan stratified random sampling atau dengan menggunakan focus-group atau in-depth interview, tapi dengan cara yang ilmiah dan tidak direkayasa? Hasil jajak pendapat tersebut kemudian bisa kita cuatkan melalui media massa. Mau main riset, ayo. Mau main media, ayo. Yang utama, harus dimulai dengan menciptakan satu event yang memiliki news worthiness. Harus diciptakan satu social noise agar memperoleh liputan dan tanggapan.

    Atau, sekalian saja kita menggunakan teknik grass roots, seperti yang terbukti sangat ampuh dipakai oleh salah satu partai pendukung keras RUU APP yang tak perlu saya sebutkan namanya di sini. Mereka berhasil menebarkan brand image mereka dengan selalu berada paling depan saat melakukan demo, saat terjadi musibah ini-itu, saat berusaha meng-goal-kan RUU APP. Mereka bekerja dengan rapi dan mantap sejak tahun 2004. Tanpa suara mereka membangun TK dan SD di daerah-daerah sambil mengusung ideologi mereka. Tanpa suara mereka mengarah lebih ke kursi legislatif tinimbang kursi RI-1. Tanpa suara pula mereka menggalang dana di antara mereka. Mereka bergerak dengan perlahan, tetapi dengan strategi yang ajeg, mantap, dan terukur.

    Mereka ini tidak menjual popularitas tokoh, seperti yang dilakukan oleh partai-partai lainnya. Yang mereka jual adalah sebuah jaringan sosial yang dengan luwes menyusup ke pelosok jauh. Sebuah jaringan yang siap menimang dalam pelukan mereka para calon pemilih yang selama ini kecewa, terpukul, dan terlupakan. Mereka bisa berhasil karena mereka piawai menyiapkan mimpi tentang kemerdekaan. Kemerdekaan dari korupsi. Kemerdekaan dari kemiskinan. Kemerdekaan dari kemaksiatan susila.

    Dari ketiga janji itu yang paling mudah direalisasi, tentu saja, adalah janji memerdekakan bangsa Indonesia dari kemaksiatan susila. Kenapa? Karena siapapun yang memenangkan pemilu 2009 nanti tak akan bisa dalam sekejap melenyapkan korupsi dan kemiskinan. Itu bukan proses simsalabim. Yang jauh lebih mudah dilakukan—dan siapapun bisa turut ambil bagian menjadi anggota laskar suci—adalah membersihkan Indonesia dari godaan wanita “jalang” yang eksis secara fisik, sekaligus membersihkan Indonesia dari citra kemolekan tubuh wanita, jalang ataupun tidak, yang eksis secara khayali di benak setiap laki-laki hetero normal, termasuk di benak laki-laki yang hendak memaksakan RUU itu.

    Ide ini tentu disambut baik oleh ibu-ibu yang mencemaskan perkawinan mereka. Wanita-wanita yang merasa tidak aman dengan eksistensi tubuh molek wanita lain akan dengan penuh semangat mendukung RUU ini dengan dalih mulia "melindungi anak." Ayolah, jangan membohongi diri sendiri. Undang-undang yang mengatur pornografi dan perlindungan anak terhadap predator seksual selama ini sudah ada. Kenapa tidak itu saja yang diperkeras sangsi hukumnya? Kenapa tiba-tiba harus dipisahkan dan dikemas ulang? Apakah tidak ada yang menyadari bahwa ini adalah politisasi untuk menyatukan partai-partai senapas agar memenangkan suara dalam pemilu 2009 nanti, minimum memenangkan kursi legislatif yang akan mem-veto disahkannya puncak-ideologi yang hendak mereka usung?

    Cukup banyak wanita Indonesia yang mampu berpikir lebih dari sekadar ranjang pelaminan mereka. Cukup banyak pula tokoh wanita yang tidak akan menumbalkan kebebasan sesamanya demi dukungan politik yang sedang ia (atau suaminya) galang. Marilah kita himpun wanita-wanita kita yang masih punya nurani agar juga mampu berstrategi secara rinci dan terukur demi kebebasan mereka dari jerat politis yang sedang dipasang ini.


    Wawa Adam - Guru dan Penulis - 50 tahun

    ReplyDelete
  2. Terimakasih mbak Tisha, bersyukur RUU APP telah disahkan, memang saya yakin tidak mamapu memuaskan berbagai pihak baik yang Pro atau kontra, namun itu hasil kompromi yang Insya Allah baik. Nah, tugas kita sekarang adalah mengawal berlakunya UU APP, dan yang terpenting adalah bersama kita membangun nurani bangsa yang bermoral dan beradab lewat berbagai usaha yang kita sanggup

    ReplyDelete

Web Hosting