Welcome to OASIS blog, thank you for joining.

Wednesday, October 15, 2008

INTELEKTUALITAS TIARAP



Ada sebuah artikel yang cukup menggugah para akademisi untuk berprestasi, saya tidak tahu beliau kecuali setelah baca artikelnya baru sayatahu beliau. Tidak penting siapa yang penting adalah isinya.
Pasalnya saya sudah merasakannya di dunia kampus saat saya kuliah, sunyi kreatifitas, apabila ada kadang cuma sebatas PROYEK dan OBYEKan agar dapat duit.
Miris memang! Bukan berarti mahasiswa saat itu tidak berkreasi, ada namun minoritas. Pendidikan sekarang lebih membuat mahasiswa mengejar IP tinggi tanpa dilandasi kreatifitas dan keaktifan lapangan. Nilai-nilai itu didapat dari teori yang mereka hafal sebab dosennya sendiri kurang memberikan diskusi yang hangat dan memberikan ruang untuk "berbeda"

Mahasiswa dimata saya, terbagi menurut saya ada 4 (empat) :

1. Mahasiswa Rumahan, rutenya rumah/kos - kampus PP
2. Mahasiswa Jalanan, Rumah/kos - kampus - Mall PP
3. mahasiswa Aktifis, Rumah/kos - Organisasi PP
4. Mahasiswa Akademis, Rumah/kos - Kampus - Perpus PP

Kesemua itu tidak saklek, bisa jadi saling bertautan, tapi secara umum ya itu. untuk Aktifis kadang ada juga yang menyertai dirinya ke Perpustakaan sebab banyak juga aktifik yang sukses jadi akademisi. Namun, jarang yang mau ke lapangan untuk menjadi pengiat inteprenuer padahal ini saat dibutuhkan untuk menutupi lapangan kerja, kemandirian jarang diminati oleh mahasiswa sekarang. Untuk menjadi negara maju setidaknya 1 % dari penduduknya adalah inteprenuer, maka jika di Indonesia setidaknya 2 juta orang intreprenuer, namun bangsa kita hanya memiliki 0,0018% saja.
Itu di dunia akademis. Gimana dengan dunia kerja? tentu akan lebih simpel yaitu rutinitas KERJA. Jarang saya menemui inovasikerja yang dilakukan oleh para pegawai negeri atau swasta kecuali sedikit. Iklim kita membentuk diri untuk CUKUP dengan apa yang ada makan dak makan asal kumpul mungkin itu salah satu filosofinya.

Jawa Pos [ Rabu, 15 Oktober 2008 ]
Kesunyian Intelektual Kampus
Oleh: Saratri Wilonoyudho

Hadiah Nobel merupakan penghargaan tertinggi terhadap karya (ilmiah) seseorang di berbagai bidang, terutama masalah sains, ekonomi, sastra, dan perdamaian. Tulisan ini tidak bermaksud "membandingkan" antara ilmuwan Barat dan ilmuwan kita, namun lebih ke arah upaya "koreksi" diri.

Sederhana saja alasannya: ada satu hal yang pantas dicatat dari para pemenang Nobel. Yakni, adanya rasa "haus" ilmu, keteguhan prinsip, kreativitas, dan semangat pantang menyerah.

Lihat saja para pemenang Nobel Sains, bidang yang mereka tekuni umumnya sudah berlangsung sampai puluhan tahun. Penemu pemetaan DNA juga baru memenangi Nobel ketika 40 tahun berlalu sejak dia tekuni.

Demikian pula pemenang Nobel Kimia tahun ini, dia sudah sibuk mengamati perilaku ubur-ubur sejak 1962, karya Yoichiro Nambu juga dilakukan sejak 1960-an, kemudian penemuan virus HIV juga sudah dimuali pada 80-an.

Karena itu, dapat dipahami jika usia para pemenang Nobel bidang sains sudah agak lanjut, di atas 70-an tahun. Ilmuwan Barat ketika meneliti rela hidup puluhan tahun di hutan hanya untuk melihat perilaku monyet atau seekor laba-laba. Hal tersebut dapat dilihat pada acara "dunia binatang" di berbagai TV swasta kita.

Demikian pula seorang antropolog wanita asal AS. Dia bahkan rela menjadi istri seorang kepala suku di Lembah Baliem Papua "hanya" agar dia lebih mudah untuk mempelajari perilaku suku tersebut.

Kapan Ikut "Gila?"

Kapan di negeri ini seorang ilmuwan berperilaku "gila" sebagaimana ditunjukkan oleh bangsa Barat tersebut? Kita masih malas "membaca", dan itu dimulai sejak SD dengan kurikulum resmi pula! Kurikulum sejak SD mengajarkan bahwa yang penting untuk bekal sekolah adalah "hafal" dan bukan mengerti. Siswa harus duduk manis dan menurut perintah guru, tidak boleh banyak cerita, apalagi protes.

Karena itu, dapat dipahami jika mereka sudah sampai di perguruan tinggi terjadi kesunyian karya-karya intelektual. Yang terjadi malah kasus tertipu "blue energy" atau kasus jual beli ijazah. Banyak mahasiswa yang malas, kemudian sulit menuangkan karya ilmiah.

Jangankan dalam bentuk skripsi atau tugas akhir, untuk membuat "paper" saja banyak di antara mereka yang harus menjiplak dan mengobrak-abrik bursa buku bekas di pasar yang menjual skripsi loakan atau memesan di biro jasa skripsi.

Demikian pula para guru besar yang mestinya menjadi panutan tengah dilanda kesunyian intelektual. Mereka sibuk menjabat di kantor pemerintahan atau kampus, mengasong ilmu di berbagai perguruan tinggi, atau sibuk berseminar dengan makalah yang sama di berbagai tempat dan hanya mengandalkan lesannya

Di universitas terkenal di Jawa Timur beberapa waktu silam terjadi sesuatu yang lucu sekaligus menyedihkan. Panitia seminar dibuat terbahak-bahak ketika seorang guru besar ternama di Indonesia membawakan makalah yang sama persis dengan tahun lalu dan di tempat yang sama. Fakta itu menunjukkan betapa rendahnya produktivitasnya.

Kalangan intelektual di berbagai perguruan tinggi tenggelam dalam budaya lesan dan kesunyian intelektual (lihat pula Amin Sweeny dalam A Full Hearing, 1987).

Dalam hitungan matematis, ber-"lesan ria" dalam berbagai seminar memang menguntungkan secara material karena honornya besar. Bandingkan dengan kalau dia membuat buku bermutu, dia harus "bertapa" lama, itu pun belum tentu laku dijual. Karena itu, wajar jika tidak ada buku-buku bermutu yang dihasilkan kaum intelektual di negeri ini.

Mahasiswa Sama Saja

Sebagian besar kaum mahasiswa juga sudah banyak yang terjebak di dunia "kapitalistik". Berangkat ke kampus sekadar "ritual" saja, tanpa niat tulus untuk mengembangkan intelektualitasnya. Indikatornya jelas, dia malas mengerjakan tugas, malas membeli buku, malas membaca, malas menulis, malas berdiskusi dalam kelas, dan lain-lain. Mereka umumnya hanya sibuk menyembah simbol-simbol keilmuan tanpa "nafsu" dan perasaan untuk mengembangkannya.

Targetnya sederhana, dapat "simbol" intelektual yang berupa ijazah, diterima bekerja di pabrik dengan harapan hidup kaya raya sebagaimana diajarkan di TV-TV swasta negeri ini.
Selain itu, banyak para peneliti yang menjadi "petualang", menerima penelitian pesanan untuk melegitimasi proyek-proyek tertentu. Ada peneliti seperti seorang superman karena setiap tahun selalu "memenangi" tiga judul proposal penelitian yang berbeda-beda bidang keahliannya, tanpa konsistensi sebagaimana ditunjukkan para pemenang Nobel tersebut.

Yang mengherankan, penelitian tersebut digarap sendiri alias "single fighter". Hari ini meneliti "kuda", besok sudah meneliti "buaya", dan bulan depan sudah sibuk bercengkerama dengan "kodok". Dia menjadi kaya raya karena pekerjaannya adalah melakukan kerjasama dengan para penilai di tingkat pusat.

Saratri Wilonoyudho , dosen Universitas Negeri Semarang.

KAPAN KITA BISA MAJU ....???

1 comment:

  1. memang kita tiaprap terus?mogaaku cepat bangun

    ReplyDelete

Web Hosting