Welcome to OASIS blog, thank you for joining.

Thursday, November 20, 2008

“ Merebut Jiwa Anak ”

Sejauh mana pendidikan mempengaruhi serta menggerakkan hati dan jiwa anak?. Sekedar cerdas secara kognitif tidak banyak berpengaruh bagi jiwanya
Oleh Mohammad Fauzil Adhim
dari www.hidayatullah.com

CAMPUR aduk perasaan saya ketika Allah Ta’ala memperkenankan saya bertemu dengan buku karya Theodore Herzl, tokoh yang telah menggerakkan jutaan manusia untuk rela berdarah-darah mendirikan negara Israel Raya. Membaca Der Judenstaat –Negara Yahudi—membawa pikiran saya mengenangkan saat-saat penuh persaudaraan dalam Silaturrahmi Nasional di Gunung Tembak. Kenangan yang meng­harukan dan membuat dada saya penuh sesak oleh mimpi-mimpi tentang sebuah stasiun TV, jaringan surat kabar, sekolah-sekolah yang melahirkan manusia besar, lembaga-lem­baga yang menjadi pusat kebajikan sehingga bisa mewujudkan kehendak Islam untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi seluruh dan segenap ummat manusia.

Ada keyakinan yang membuat saya tak bisa menulis tema lain kecuali apa yang saya perbincangkan sekarang ini. Ada airmata yang saya tahan agar tidak jatuh ketika saya menuliskan kalimat-kalimat ini. Bukan karena sedih oleh perasaan tidak berdaya, Tuan. Tetapi karena keharuan yang amat kuat dan keyakinan yang begitu mendalam. Insya-Allah, atas pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, suatu saat nanti kita akan mampu mewujudkannya. Tak ada alasan untuk pesimis karena Allah ‘Azza wa Jalla tak pernah berhenti memberi pertolongan, kecuali kalau iman kita telah habis dan keyakinan kita pada kekua­saan-Nya telah menipis.

Belajar dari orang-orang yang telah berlalu, tidak terkecuali Theodore Herzl yang telah menginspirasi jutaan orang Yahudi untuk bergerak mendirikan Israel Raya dengan merampas tanah orang-orang Palestina, ada satu hal yang harus kita catat. Keberhasilan membuat sejarah besar, bukanlah bertumpu pada besarnya kekayaan dan banyaknya orang-orang yang berdiri di belakang kita. Seratus juta manusia yang tipis keyakinannya, akan mudah lari terbirit-birit oleh seribu orang terpilih dengan keyakinan yang sangat kokoh dan keberanian yang sangat besar. Ketika Herzl menulis Der Judenstaat, kaum Ya­hudi adalah orang-orang yang tidak berdaya dan tercerai berai. Tetapi Benyamin Se’ev –nama lain Theodore Herzl—menulis dalam buku hariannya sepulang dari Kongres Basel tahun 1897, “Di Basel, aku dirikan Negara Yahudi. Jika aku katakan dengan lantang hari ini, aku akan disambut dengan tertawaan orang-orang sedunia. Mungkin dalam lima ta­hun, tetapi pasti dalam lima puluh tahun, setiap orang akan menyaksikannya.”

Apa yang membuat Herzl begitu yakin? Media dan kekuatan jaringan. Media memainkan pikiran manusia, menggiring orang yang paling benci sekalipun untuk seku­rang-kurangnya tidak peduli. Media dapat membuat orang menangisi apa yang seharus­nya mereka syukuri, dan merayakan apa yang seharusnya membuat mereka tidak bisa tidur dalam tiga hari karena ngerinya tragedi. Media dapat membuat kebusukan tampak bagus dalam sekejap, dan sebaliknya bisa membuat orang jujur dicaci-maki dan diludahi. Seorang yang telah cukup matang berpikir pun bisa berubah karena tulisan yang dibuat dengan penuh kekuatan. Terlebih anak-anak dan orang muda, media bukan saja mempe­ngaruhi. Ia bisa menentukan hitam putihnya pikiran mereka, meskipun orangtua men­dampingi anak-anaknya hampir setiap hari.

Di antara perusahaan media –sepeninggal Herzl—yang dengan sangat serius menggarap anak-anak adalah Disney dengan berbagai produknya, terutama film kartun. Didirikan oleh Mogul Michael Eisner –seorang Yahudi militan yang sangat fobi pada Islam—The Disney Company bekerja keras melahirkan produk-produk untuk anak. Mereka telah bersungguh-sungguh, berusaha melakukan yang terbaik dan tak berhenti mening­katkan kemampuan. Hari ini, jutaan anak-anak kaum muslimin menanti dengan sabar film-film mereka di layar TV bersama para orangtua mereka –yang terkadang bukan mendampingi, tetapi ikut berebut memelototi. Sebagian masih menawarkan kebaikan, tetapi tak sedikit yang menyuntikkan racun ke dalam pikiran kita, sementara kita menik­matinya dengan senang hati.

Berkenaan dengan pilihan menggarap anak-anak ini, teringatlah saya kepada David McClelland. Atas biaya CIA –lembaga inteligen Amerika—McClelland melakukan penelitian untuk mengetahui semangat kewirausahaan masyarakat berbagai bangsa. McClelland kemudian menyimpulkan bahwa semangat wirausaha sangat dipengaruhi oleh kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement). Darimana kebutuhan untuk ber­prestasi ini sangat mempengaruhi jiwa mereka? McClelland menunjuk pada cerita anak. Keyakinan ini didasarkan pada hasil analisis proyektif cerita anak dari bangsa-bangsa yang ditelitinya.

Meskipun pendidikan di perguruan tinggi turut berpengaruh pada sikap dan terutama wawasan seseorang, tetapi pengaruh paling kuat yang membekas pada kepribadian adalah masa kecil. Dan cerita anak –termasuk film yang mereka lihat—sangat menentukan besar kekuatan kebutuhan jiwa. Anak yang sudah kokoh jiwanya ketika memasuki masa remaja, insya-Allah mereka tidak mudah terpengaruh –apalagi guncang—oleh hal-hal baru yang ada di sekelilingnya. Menjadi remaja tidak dengan sendirinya berarti mengalami kebingungan jatidiri sehingga mereka sibuk mencari identitas –yang kemudian dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan apa saja yang tidak benar. Ada remaja-remaja yang tidak mengalami keguncangan. Mereka telah menemukan jatidiri sebelum memasuki masa remaja. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.

Pertanyaan kita adalah, mengapa ada yang harus guncang dan kehilangan pegangan sehingga pelajaran agama yang mereka terima semenjak kecil seakan tak berbekas, sementara pada saat yang sama remaja lain tidak mengalami kebingungan identitas? Wallahu a’lam bishawab. Penyebab yang sangat menentukan adalah pendidikan yang mereka terima di masa sebelumnya; sejauh mana mempengaruhi serta menggerakkan hati dan jiwa mereka. Sekedar cerdas secara kognitif atas nilai-nilai tauhid, tidak banyak berpengaruh bagi jiwa. Banyaknya pengetahuan tidak terlalu menentukan apa yang menjadi penggerak utama manusia untuk hidup –McClelland kemudian menganggapnya sebagai kebutuhan (need). Seperti dokter penyakit dalam, sekedar pengetahuan yang mendalam tentang bahaya merokok, tidak cukup untuk membuat mereka berhenti merokok. Itu sebabnya perusahaan rokok dengan senang hati mencantum peringatan pemerintah tentang bahaya merokok di iklan-iklan mereka.

Nah, salah satu cara yang efektif mempengaruhi jiwa anak adalah cerita. Semakin kuat sebuah cerita, semakin besar pengaruh yang menggerakkan jiwa anak. Demikian pula semakin dini mereka membaca cerita-cerita berpengaruh tersebut, semakin kuat bekasnya pada jiwa. Kuatnya pengaruh ini akan lebih besar lagi jika anak-anak itu meng­ungkapkan kembali cerita dan kesan yang ia tangkap melalui tulisan. ‘Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”

Itu sebabnya, dua keterampilan ini –yakni membaca dan menulis-- perlu kita bangkitkan semenjak dini. Kita gerakkan jiwa mereka untuk membaca semenjak anak-anak itu baru berusia beberapa hari. Kita rangsang minat baca mereka, dan kita ajarkan mereka bagaimana membaca semenjak dini, bukan semata untuk meningkatkan kecerdasan. Lebih dari itu, mudah-mudahan kita tergerak untuk melakukannya karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menjadikan membaca (iqra’) sebagai perintah pertama. Iqra’ bismirab­bikal ladzii khalaq! Adapun kenyataan bahwa mengajarkan membaca semenjak dini terbukti meningkatkan kecerdasan anak kita berlipat-lipat, itu merupakan hikmah yang kita syukuri.

Tetapi…

Sekedar membuat anak kita terampil membaca dan menulis di usia dini, sama sekali tidak cukup. Kita harus berikan kepada mereka bacaan-bacaan bergizi bagi pikiran, perasaan dan ruhani mereka. Tak cukup kalau kita sekedar mencerdaskan otak. Kita harus menghidupkan jiwa mereka sehingga tumbuh kebutuhan yang sangat kuat sebagai penggerak hidup mereka kelak. Kita harus menulis cerita-cerita anak yang bergizi. Sekarang juga! Tak ada waktu untuk menunggu, sebab setiap detik waktu berlari meninggal­kan kita. Seperti Mogul Michael Eisner, harus ada di antara kita yang berbuat untuk anak-anak. Jika Eisner mewujudkan pengabdian melalui jaringan bisnis The Disney Company, lalu apakah yang akan kita lakukan?

Selebihnya, kita memerlukan buku-buku cerita yang hidup, yakni guru-guru yang memiliki kekuatan jiwa. Mereka inilah penentu masa depan anak-anak. Di tangan para guru, buku-buku yang kurang gizinya dapat dibenahi sehingga menghidupkan hati, menajamkan pikiran dan menggerakkan jiwa anak. Mereka inilah yang harus kita persiap­kan untuk mengantarkan anak-anak kita menyambut seruan perjuangan. Tak perlu tergesa-gesa mendirikan perguruan tinggi. Kalau kita telah mampu membangun kekuatan jiwa pada anak-anak kita sedari playgroup hingga SMP –syukur hingga SMA—melalui sekolah-sekolah yang diasuh oleh guru-guru dengan kekuatan jiwa yang tangguh, kekuatan ruhiyah yang kokoh dan kekuatan ilmu yang matang, insya-Allah kita sudah meng­genggam generasi yang penentu sejarah lima puluh tahun yang akan datang!

Allahu akbar!

Penulis adalah kolomnis tetap rubrik parenting di Majalah Hidayatullah

No comments:

Post a Comment

Web Hosting