Welcome to OASIS blog, thank you for joining.

Tuesday, October 14, 2008

LASKAR PELANGI on review 2


Novel karya Andrea Hirata ini memang fenomenal. Penulis mengatakan dalam sebuha acara televisi ; kurang lebih seperti ini "ini bukan karya sastra, sebab saya bukan seorang sastrawan." memang benar tapi jika saya katakan ini buku biografi, kan benar juga. Saya menganggap ini buku beografi penulis yang dikemas dengan gaya bahasa mengalir bak cerita novel.
Saya tidak akan memperpanjang debat atau pujian yang terkandungdarikarya tulisnya atau bahkan mengulas jauh hingga ke tetralogi-nya. Namun saya mengungkapkan sebuah tulisan yang reformis bagi dunia pendidikan. Ini juga jelas bukan buku ilmiah meski memuat ilmiah, namun kita mengakui atau setidaknya saya mengakui ini sebuah karya tulis yang reformis.
Saya katakan reformis, ditengah pendidikan yang lebih mensyaratkan nilai-nilai angka dan material (baca= uang) dalam hampir setiap pengambil keputusan pendidikan. Pendidikan yang dirasakan Ical dan kawan-kawan atau dikenal dengan Laskar Pelangi adalah pendidikan humanistik, ibu guru Muslimah telah menerapkan metode pembelajaran dengan pendekatan humanistik meski mungkin beliau kurangmengenal teori-teori itu dari para tokoh pendidikan dunia.
karya tulis ini mirip karya tulis serupa di Jepang yang tokohnya adalah Toto-Chan oleh Tetsuko Kuroyanagi bahkan cerita Toto-Chan telah berupa komik. Kemiripannya adalah sama-sama membuktikan di tengah-tengah sekolah yang mengandalkan angka-angka belaka, namun dengan pendekatan yang berbeda yaitu dengan hati dan fasilitas alam mampu melahirkan orang yang sukses melalui pendekatan humanistik para pendidiknya.

Berikut review novel Toto-Chan yang saya copy-kan dari pangerankucing.wordpress.com.
Resume:

Ibu Guru mengganggap Totto-chan nakal, padahal gadis cilik itu hanya punya rasa ingin tahu yang besar. Itulah sebabnya ia gemar berdiri di depan jendela selama pelajaran berlangsung. Karena para guru sudah tidak tahan lagi, akhirnya Totto-chan dikeluarkan dari sekolah.

Mama pun mendaftarkan Totto-chan ke Tomoe Gakuen. Totto-chan girang sekali, di sekolah itu para murid belajar di gerbong kereta yang dijadikan kelas. Ia bisa belajar sambil menikmati pemandangan di luar gerbong dan membayangkan sedang melakukan perjalanan. Mengasyikkan sekali, kan?

Di Tomoe Gakuen, para murid juga boleh mengubah urutan pelajaran sesuai keinginan mereka. Ada yang memulai hari dengan belajar isika, ada yang mendahulukan menggambar, ada yang ingin belajar bahasa dulu, pokoknya sesuka mereka. Karena sekolah itu begitu unik, Totto-chan pun merasa kerasan.

Walaupun belum menyadarinya, Totto-chan tidak hanya belajar fisika, berhitung, musik, bahasa, dan lain-lain di sana. Ia juga mendapatkan banyak pelajaran berharga tentang persahabatan, rasa hormat dan menghargai orang lain, serta kebebasan menjadi diri sendiri. [diambil dari cover belakang buku]

Review:

Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela merupakan sebuah novel non fiksi karya Tetsuko Kuroyanagi. Diterbitkan pertama kali di Jepang pada tahun 1981 oleh Kodansha International, Ltd. Di Indonesia, buku ini diterbitkan pertama kali tahun 2003 oleh Gramedia Pustaka Utama.

Tetsuko menceritakan pengalaman hidupnya saat ia masih bersekolah [SD] dengan sangat menarik. Bukan cara berceritanya yang manarik, tapi cerita hidupnya itu sendiri.

Cerita Totto-chan yang sangat ingin tahu [lebih dari anak-anak seumurnya] ditambah dengan cara pendidikan ‘unik’ yang diterapkan Tomoe Gakuen merupakan sebuah pelajaran berharga yang sebenarnya bisa dipetik oleh para guru di Indonesia, atau bahkan diadopsi sebagai cara pendidikan di Indonesia.

Saya pribadi merasa sangat salut kepada Sasuko Kobayashi [1893 - 1963], sang Kepala Sekolah Tomoe yang berhasil menciptakan [dan menerapkan] cara pendidikan yang bisa mengangkat bakat dan minat setiap murid asuhannya dengan tanpa mengesampingkan pendikan moral dan sopan santun. Dan dari yang saya baca, sebagian besar teman-teman Totto-chan menjadi orang yang berhasil.

Pertanyaannya adalah, apakah bisa cara pendidikan seperti itu diterapkan di Indonesia? Saya menjawab BISA! Namun dengan carut marutnya sistem pendidikan yang diterapkan saat ini di Indonesia, saya tidak yakin hal itu bisa direalisasikan. Diperlukan seorang Sosaku Kobayashi Indonesia untuk menjadi Menteri Pendidikan, atau bahkan Presiden Indonesia.

Yang jelas, kita tertinggal jauh dari Jepang [pasti]. Bayangkan saja, Sosaku Kobayashi sudah menerapkan sistem ini di Tomoe sejak tahun 1937. Dibutuhkan energi yang besar dan dukungan dari banyak pihak untuk menjadikannya berjalan di Indonesia.

Saya cuma bisa berdoa, mudah-mudahan lahir seorang Sosaku Kobayashi di Indonesia, dengan catatan, orang itu lahir di lingkungan berada, punya beking yang kuat, didukung seluruh partai politik di Indonesia, ABRI, dan kalangan agamis. Soalnya sehebat apapun seseorang dan gagasannya untuk memajukan Indonesia, tanpa didukung hal tersebut, hampir mustahil bisa terlaksana.

Oh Indonesia, oh Indonesia!

1 comment:

  1. Nice blog.
    Saya ada koreksi sedikit tentang buku Toto Chan. Sejak 2003 Gramedia menerbitkan KEMBALI buku ini. Sebenarnya buku TOTO ini sudah pernah diterbitkan sekitar tahun 1989-an..tepatnya saya lupa oleh penerbit Pantja Karya. Saya membacanya waktu masih mahasiswa. Saya juga sangat menyukai buku itu. Gara-gara buku itu..tiba-tiba anak saya pernah nyeletuk begini "Ma aku mau jadi ayam.."ketika saya ajak makan soto ayam. Seperti TOTO yang menggantung seharian. Ketika ditanya sedang apa dia jawab "aku sedang jadi daging sapi..." begitulah anak-anak.
    Btw, salam kenal.

    ReplyDelete

Web Hosting